Indonesia merupakan surga bagi vendor ponsel dunia. Dengan jumlah pengguna telekomunikasi yang hampir sama dengan jumlah penduduk yaitu lebih dari 220 juta pelanggan, maka tak heran bila vendor besar seperti BlackBerry, Samsung, iPhone, dan Nokia menjadikan negeri ini sebagai pasar utama produk mereka.
Bila dilihat dari penambahan pelanggan operator, setidaknya lebih dari 10 juta ponsel terjual setiap tahunnya, terutama dipicu oleh makin murahnya harga ponsel. Hal itu diperparah dengan sangat rendahnya harga kartu perdana (SIMcard) yang hanya senilai Rp 10 ribu untuk pulsa dengan denom yang sama.
Namun, keriuhan industri telekomunikasi dikejutkan dengan rencana pemerintah yang akan memblokir ponsel yang memiliki IMEI ilegal. Artinya, ponsel dengan IMEI ganda yang biasanya datang dari ponsel selundupan atau black market bakal dimatikan sinyalnya.
Hal ini tentu saja cukup mengagetkan mengingat tidak semua pengguna ponsel sadar bahwa ponsel yang dibelinya dari penjual merupakan ponsel ilegal. Tentunya pembeli tidak bakal menanyakan sertifikasi dari Kominfo maupun Kemendag, apalagi bagi pembeli ponsel low end yang kebanyakan datang dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Dari sisi harga pun sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda bahkan beberapa diantaranya malah lebih mahal.
Memang benar kalau operator dan pemerintah mengimbau agar pembeli membeli ponsel pada distribusi resmi, tapi tidak semua tempat ada distributor resmi, apalagi bagi pembeli di daerah. Imbauan itu juga terasa kurang greget dan bermakna standar ganda manakala pemerintah membiarkan pedagang ponsel yang bukan distributor resmi menggelar lapaknya di sentra-sentra perdagangan resmi seperti ITC dan lainnya.
Pemerintah seakan menutupi kelemahannya yang tidak sanggup mengatasi ponsel selundupan dengan mengorbankan pengguna telekomunikasi. Apalagi, kebijakan pemblokiran tersebut tanpa diikuti kompensasi penggantian ponsel. Karena tidak semua masyarakat mampu membeli ponsel lagi bila sinyal sudah diputus.
Menanggapi isu ponsel ilegal atau BM, Boni Angga Budiman, Sekjen Asosiasi Pengusaha dan Importir Telepon Genggam (Aspiteg), membantah adanya peredaran ponsel ilegal di Indonesia karena yang ada hanyalah perbedaan antara garansi toko dan garansi ATPM (agen tunggal pemegang merek) handphone.
Akibat dari kebijakan tersebut, 50 juta ponsel terancam hilang sinyalnya. Ini merupakan jumlah yang sangat besar dan akan jadi preseden serius di industri telekomunikasi. Dan bila ini terjadi, maka penetrasi telekomunikasi menjadi tumbuh negatif. Oleh karena itu, sebaiknya kebijakan pemblokiran kembali difikirkan masak-masak, karena bila tidak, bisa-bisa muncul class action dari masyarakat pengguna telekomunikasi.
Bila dilihat dari penambahan pelanggan operator, setidaknya lebih dari 10 juta ponsel terjual setiap tahunnya, terutama dipicu oleh makin murahnya harga ponsel. Hal itu diperparah dengan sangat rendahnya harga kartu perdana (SIMcard) yang hanya senilai Rp 10 ribu untuk pulsa dengan denom yang sama.
Namun, keriuhan industri telekomunikasi dikejutkan dengan rencana pemerintah yang akan memblokir ponsel yang memiliki IMEI ilegal. Artinya, ponsel dengan IMEI ganda yang biasanya datang dari ponsel selundupan atau black market bakal dimatikan sinyalnya.
Hal ini tentu saja cukup mengagetkan mengingat tidak semua pengguna ponsel sadar bahwa ponsel yang dibelinya dari penjual merupakan ponsel ilegal. Tentunya pembeli tidak bakal menanyakan sertifikasi dari Kominfo maupun Kemendag, apalagi bagi pembeli ponsel low end yang kebanyakan datang dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Dari sisi harga pun sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda bahkan beberapa diantaranya malah lebih mahal.
Memang benar kalau operator dan pemerintah mengimbau agar pembeli membeli ponsel pada distribusi resmi, tapi tidak semua tempat ada distributor resmi, apalagi bagi pembeli di daerah. Imbauan itu juga terasa kurang greget dan bermakna standar ganda manakala pemerintah membiarkan pedagang ponsel yang bukan distributor resmi menggelar lapaknya di sentra-sentra perdagangan resmi seperti ITC dan lainnya.
Pemerintah seakan menutupi kelemahannya yang tidak sanggup mengatasi ponsel selundupan dengan mengorbankan pengguna telekomunikasi. Apalagi, kebijakan pemblokiran tersebut tanpa diikuti kompensasi penggantian ponsel. Karena tidak semua masyarakat mampu membeli ponsel lagi bila sinyal sudah diputus.
Menanggapi isu ponsel ilegal atau BM, Boni Angga Budiman, Sekjen Asosiasi Pengusaha dan Importir Telepon Genggam (Aspiteg), membantah adanya peredaran ponsel ilegal di Indonesia karena yang ada hanyalah perbedaan antara garansi toko dan garansi ATPM (agen tunggal pemegang merek) handphone.
Akibat dari kebijakan tersebut, 50 juta ponsel terancam hilang sinyalnya. Ini merupakan jumlah yang sangat besar dan akan jadi preseden serius di industri telekomunikasi. Dan bila ini terjadi, maka penetrasi telekomunikasi menjadi tumbuh negatif. Oleh karena itu, sebaiknya kebijakan pemblokiran kembali difikirkan masak-masak, karena bila tidak, bisa-bisa muncul class action dari masyarakat pengguna telekomunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar